terima kasih telah melihat blog saya terima kasih telah melihat blog saya terima kasih telah melihat blog saya jingah terbang

Laman

Jumat, 07 November 2014

                      
                                             Telinga Panjang menjadi ciri khas orang Dayak

Telinga Panjang menjadi ciri khas orang Dayak, pada jaman dahulu hampir semua orang Dayak baik laki laki maupun perenpuan bertelinga panjang. Menurut Amai Pebulung ( seorang tetua suku Dayak Pampang ), Orang dayak dahulu banyak hidup di hutan, ingin membedakan antara manusia dengan monyet, “Jika telinganya pendek berarti dia itu monyet…..” demikian dikatakan oleh amai Pebulung sambil tertawa terkekeh kekeh…
Untuk kaum wanita jika telinganya semakin panjang dan bandul telinganya semakin banyak maka dia semakin cantik. Untuk kaum lelakinya biasanya bandul telinganya dibuat ukir-ukiran.
Di desa Pampang masih ada beberapa ibu-ibu yang bertelinga panjang, dan juga beberapa tetua adat yang masih bertelinga panjang. Sementara itu untuk generasi mudanya sudah tidak lagi membuat teliga panjang.

                                           "Legenda Sungai Barito"

Pada zaman dahulu, di sebuah tumpung (desa sangat kecil, hanya dihuni beberapa kepala keluarga) di daerah ngaju, tinggal seorang janda dengan dua orang anaknya. Anak yang tertua bernama Patih Laluntur, sedang yang seorang lagi bernama Patih Sasanggan.

Dikarenakan usia yang telah lapuk dimakan waktu, sang ibu meninggal dunia, sehingga tingga...llah dua orang kakak beradik yang sudah menginjak usia remaja. Keduanya hidup rukun, sampai tumbuh menjadi pemuda dewasa.
Beranjak dari keinginan untuk mengubah pola hidup mereka yang sangat sederhana di tumpung, disertai keinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan, serta keinginan menimba pengalaman di daerah luar, Patih Laluntur dan Patih Sasanggan sepakat untuk meninggalkan gubug mereka di tumpung.
Dengan bekal seadanya, kedua kakak beradik itu berangkat mengembara, tanpa tahu arah yang mesti dituju.
Mereka mengembara keluar masuk hutan belantara, dan berharap agar segera bertemu dengan pemukiman penduduk. Sekian lama mereka berkelana, tak jua ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan di daerah yang mereka lewati. Hanya semak belukar, pepohonan besar, dan berbagai satwa liar yang mereka jumpai. Bekal yang mereka bawa pun semakin menipis, tidaklah cukup untuk menempuh perjalanan tanpa batas. Untuk mengisi perut, mereka memakan hewan buruan yang dibakar, buah-buahan, umbi-umbian, dan pucuk-pucukan yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Suatu hari, karena terlalu lelah dengan perjalanan panjang itu, mereka istirahat di bawah sebuah batang pohon besar yang rindang. Patih Laluntur dan Patih Sasanggan tidur-tiduran sambil menatap langit, melihat burung-burung beterbangan menari riang.
Untuk mengusir rangit (nyamuk hutan), mereka membuat api unggun kecil (perapian). Agar api unggun yang dibuat dapat bertahan lama, sang adik, Sasanggan, mengambil ranting-ranting kecil dari pohon dimana mereka berteduh, untuk sekadar menambah bara.
Asap yang mengepul dari perapian itu mengeluarkan bau yang sangat sedap, seperti bau daging yang terbakar. Sasanggan segera mencari sumber bau tersebut, yang ternyata berasal dari ranting dan potongan kayu dari pohon yang rindang itu. Laluntur juga mencium aroma yang sama. Karenanya, ia segera menebang salah satu dahan pohon tersebut, yang kemudian dipotong-potong, dan diletakkan ke dalam api unggun. Asap yang keluar dari api unggun itu tampak menebal, dan kembali menebar aroma yang sangat sedap, membangkitkan rasa lapar. Dan yang aneh, potongan kayu itu tidak berubah menjadi arang, melainkan terbentuk keratan-keratan daging-daging yang dibakar.
Patih Laluntur tidak sabar untuk tidak mencicipinya. Ternyata potongan kayu itu begitu empuk dan lezat, melebihi kenikmatan dari daging bakar biasa. Sasanggan pun segera melakukan hal yang sama.
Akhirnya, mereka berdua menebang pohon yang rindang itu dan dipotong-potong kecil untuk dijadikan santapan, dan sisanya sebagai bekal perjalanan mereka.
Belum lagi habis santapan di hadapan mereka, sang kakak sangat terperanjat menyaksikan perubahan yang terjadi pada tubuh adiknya. Tubuh Patih Sasanggan mulai ditumbuhi sisik-sisik tebal. Laluntur tertawa terbahak-bahak dan menganggap perubahan tubuh adiknya sebagai sesuatu yang lucu, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya keadaannya pun tak berbeda dengan sang adik.
Sasanggan tidak menyadari bahwa yang ditertawakan adalah dirinya. Ia pun tak kalah terkejutnya menyaksikan tubuh Laluntur telah ditumbuhi sisik-sisik tebal.
Konon, kedua kakak beradik itu telah memotong dan memakan tubuh seseorang yang tengah bertapa di situ. Tubuh itu telah berubah menjadi sebatang pohon sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Akan halnya Patih Laluntur dan Patih Sasanggan yang telah termakan tubuh seorang pertapa itu, seluruh tubuhnya telah dipenuhi sisik tebal, ekornya yang keras telah muncul, kedua kaki dan tangannya telah berubah menjadi kaki tangan buaya dengan kuku-kuku yang runcing, dan kepalanya pun telah berubah menjadi kepala buaya. Jadilah, dua ekor buaya putih.
Kedua ekor buaya putih itu merangkak menjelajahi hutan dan rimba belantara untuk mencari laut sebagai tempat kediaman mereka. Kedunya terus mandusur hingga bertemu dengan laut.
Ketika hujan turun, titik-titik air yang telah menyatu mengalir melewati jalan yang dilalui kedua buaya tersebut. Semakin sering hujan turun, terjadi pengikisan tebing sungai, kemudian erosi vertikal yang kuat. Dari aliran yang kecil, kemudian bertemu dengan aliran di tempat lain. Lama-lama aliran itu menjadi besar, hingga terbentuklah sungai Barito seperti yang dilihat sekarang ini.

"Sekilas Tentang Panglima Batur, Seorang Pejuang/Pahlawan Nasional Asal Suku Dayak Bakumpai"

Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun),[1] adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai,[2] dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.

Legenda Junjung Buih

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.

Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.

Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.

Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.

Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.

                                                            Mandau bisa Terbang

Pada saat terjadianya kerusuhan antar Etnis di Sambas dan Sampit, banyak cerita berkembang tentang adanya fenomena Mandau Terbang : (Mandau yang bisa terbang mencari sasaran sindiri, bisa memilih dan memenggal leher musuh). Hal tersebut cukup menggetarkan dan membuat merinding siapapun yang mendegar.
Semua dikembalikan pada yang mendengar, boleh percaya boleh tidak. Namun demikian banyak kesaksian yang menguatkan kebenaran akan fenomena tersebut.
Apapun ceritanya harus digaris bawahi bahwa Mandau adalah senjata tradisional Suku Dayak . Mandau telah menjadi Simbol kekuatan, simbol keadilan, simbol persatuan dan sekaligus simbol kehidupan Suku Dayak.
Bagi orang Dayak, membawa mandau kemana-mana adalah hal biasa, tidak perlu dirisaukan. Untuk mencabut mandau tidak boleh sembarangan, ada aturannya. Mandau tidak boleh digunakan untuk mengancam orang lain, salah salah bisa mendapatkan denda secara adat. Mandau baru akan dicabut dari sarungnya hanya jika dalam mondisi amat terdesak untuk mempertahankan diri, dan konon setiap mandau keluar dari sarungnya harus mendapat korban.
Mandau terbang konon bisa dilakukan oleh para tetua Suku yang memiliki kesaktian tinggi, melalui ritual tertentu makan mandau tersebut akan melesat terbang mencari sasarannya, hampir dipastikan mandau tersebut tidak akan salah sasaran. Dan ritual Mandau terbang hanya akan dilakukan dalam kondisi yang amat darurat demi menpertahankan hidup.
                         Perbandingan Bahasa Bakumpai Dengan Bahasa Dayak Ngaju

Jida ( Bakumpai ) Dia ( Ngjau ) : Tidak
Beken ( Bakumpai) Beken ( Ngjau ): Bukan
Pai ( Bakumpai ) Pai ( Ngaju) : Kaki
kueh ( Bakumpai ) Kueh ( Ngaju) : mana
si-kueh ( Bakumpai) bara-kueh (ngaju) : darimana
Hetuh ( Bakumpai) Hetuh (ngaju) : Sini
si-Hetuh(bakumpai) Intu-Hetuh (ngaju) disini
Bara ( Bakumpai) Bara (ngaju) : dari
Kejaw ( Bakumpai) Kejaw ( Ngaju): Jauh
Tukep / Parak (bakumpai) Tukep ( ngaju): dekat
Kuman ( Bakumpai) Kuman (Ngaju) : Makan
Mihup ( bakumpai)Mihop (ngaju) : minum
                                                              Tujuh Petapa Di Kalimantan Selatan

TOKOH DAYAK PEDALAMAN MENGATAKAN MEMANG DIKALTIM AKAN TERJADI PERANG BESAR-BESARAN TAK AKAN BISA DIHINDARI LAGI KAMI MENUNGGU MASA ITU, TUJUH PETAPA SUDAH KELUAR DARI PERTAPAANNYA YAITU DITELUK ALANG2 KAL-SEL, RAKSASA DIPULAU KADAP KAL-SEL YAITU GUSTI ANTA DAN ANAKNYA PUN HIDUP SAMPAI SEKARANG INI JUGA MENANTIKAN PERISTIWA BESAR ITU TERJADI PERISTIWA JINGAH TERBANG PANGKALIMA SAKTI YG MENDIAMI POHON JINGAH TERSEBUT BERPINDAH KESEBRANG SUNGAI KARENA DIDAERAH TERSEBUT TERBAKAR POHON YG MENJADI TEMPAT TINGGALNYA PUN DIBAWA TERBANG KESEBRANG SUNGAI BARITO KAL-SEL BARITO KUALA, MARDIABAN SUDAH DIBANGKITKAN MELALUI UPACARA KHUSUS DARI SUKU DAYAK BAKUMPAI,SEMUA WARGA KALIMANTAN MEMPELAJARI ILMU KEKEBALAN TUBUH DARI ANAK KECIL SAMPAI YG SUDAH DEWASA KAMI SIAP BILA MASA ITU AKAN DATANG SEMUA SOSOK SAKTI PUN SUDAH DIPERSIAPKAN SELURUH SUKU DAYAK KALIMANTAN.